Sudut Pandang Pikukuh Sunda Tentang Proses Penciptaan & Dinamikanya
Sampurasun
1. Pitutur para sepuh tentang proses terjadinya Sunda & Planet Bumi
- Awalnya Yang Maha Kuasa membentuk “Jagat Suwung”, yaitu ‘sesuatu’ yang gelap, kosong, hening. Tidak ada barat, timur, utara, selatan, singkatnya... sebuah keadaan yang sulit terciptakan (cipta = pikir).
- Tahap selanjutnya Yang Maha Kuasa menghadirkan suatu suara seperti “Tawon Laksaketi” (berjuta-juta tawon) yang berbunyi “Huuuung...”. Dunia ilmu pengetahuan modern menyebutnya sebagai “Suara Kosmik”.
- Dari pusat suara munculah jentik-jentik sinar cemerlang “Hyang Putih / Ingyang Putih” sebesar ‘sayap nyamuk’. Dalam bahasa ilmu pengetahuan modern model ini disebut “molekul cahaya”. Semakin lama semakin menggumpal, membesar dan terus membesar.
- Gumpalan, kumpulan molekul (atom ?) itu semakin lama semakin besar dan memadat maka jadilah “Sang Hyang Tunggal”, sebuah sumber cahaya gemilang yang agung dan suci serta tidak ada bandingnya.
- Atas kehendaknya (Yang Maha Kuasa ?), Sang Hyang Tunggal memecah dirinya menjadi beberapa bagian dan menyebar di Jagat Suwung. Ilmu pengetahuan modern menyebutnya sebagai “Big Bang”, istilah itu dipelopori oleh Stephen Hawking.
- Pecahan dari Sang Hyang Tunggal menyebar mengisi Jagat Suwung dan kembali menjadi jentik-jentik sinar yang berpencar. Saat ini kita mengenalnya dalam tiga (3) kelompok : Kartika(Bintang), Surya (Matahari), Chandra (Bulan) atau sering disebut sebagai susunan “Tata Surya”.
- Salah satu dari milyaran tata surya pengisi Jagat Suwung adalah Matahari kita yang dikelilingi oleh planet-planet, dan planet-planet tersebut pun hasil pemisahan (ledakan) dari Matahari itu sendiri.
- Maka, Matahari kita itu merupakan putra dari Sang Hyang Tunggal dan atau cucu dari Hyang Putih.
- Matahari dikenal sebagai Sang Hyang Manonatau lebih populer disebut Batara Guru yang artinya adalah “yang senantiasa memberikan / menyampaikan penerang sebagai cahaya kehidupan (*gerak)”.
2. Arti Kata “Sunda”.
- Matahari adalah “api sejati yang sangat besar”dan dituliskan dalam susunan kata SU (sejati) – NA (api / geni / agni) – DA (agung / besar / gede) atau sering disebut sebagai SUNDA.
- Kita dapat menemukan istilah “Sunda” dalam beberapa penamaan seperti; Gunung Sunda (+Purba), Selat Sunda, Sunda-Ra, Kepulauan Sunda Besar – Sunda Kecil, dst. Bahkan seorang filsuf Yunani, Plato menyebutnya sebagai Sunda-Lan atau Ata-Lan atau boleh jadi artinya sama dengan Atlan (Atlantis).
- Maka, Sunda sama sekali bukan nama sebuah ras atau suku pun etnis, apalagi hanya berupa batas wilayah sebesar Jawa-Barat. Sebab, Sunda merupakan tatanan besar yang berlandas kepada nilai-nilai filosofis “ke-Matahari-an”.
- Betul bahwa pusat “Sunda” itu ada di Jawa Barat hal tersebut karena keberadaan Gunung Sunda Purba / Gunung Matahari / Gunung Batara Guru / Gunung Cahaya, dalam bahasa Yunani kuno disebut sebagai Gunung Olympia (Olympus = Cahaya) dikenal sebagai tempat tinggal para dewa. Hal ini pula yang menyebabkan mayoritas wilayah di Jawa-Barat menggunakan istilah “Ci” artinya “Cahaya”. Istilah ”Ci” tentu tidak sama dengan “Cai” yang berarti kemilau yang dipantulkan dari permukaan tirta / banyu / apah / air.
3. Sang Guru Hyang & Da Hyang Sumbi
- Dari cerita Wayang Purwa dikisahkan bahwa
- Batara Guru jatuh cinta kepada Batari Uma / Dewi Uma.
- Batari Uma berobah menjadi Batari Durga & dikawini oleh Batara Kala.
- Arti kata “Guru” adalah yang selalu bersinar / senantiasa menerangi / pemberi kebenaran. Sedangkan arti kata “Batara” ialah “yang menyampaikan (yang menyinari) gerak kehidupan”.
- Dalam pikukuh Sunda keluhuran budi-pekerti & dharma bakti agung pada diri seseorang menyebabkan ia layak (disetarakan) sebagai sosok “Guru”. Adapun derajat yang tertinggi dan paling sepuh disebut Sang Guru Hyang (Sang Guriang) yang artinya adalah Saka Guru (Guru yang Tertinggi / Puncak tertinggi dari segala Guru / Cahaya) dan itu sama dengan Matahari disisi lain hal tersebut maknanya sama dengan “Sunda”.
- Batari Uma (Ma / Umi / Ambu / Ibu / Umbi / Bumi)sesungguhnya merupakan pecahan dari Matahari (Batara Guru / Sunda), didapat dari hasil ledakan besar yang kemudian bergerak mengeliling Matahari menjadi bagian dari Tata-Surya (Solar System).
- Batari Uma atau Dewi Uma pada mulanya bersinar terang seperti halnya Batara Guru, namun lama-kelamaan sinarnya semakin padam dan permukaannya berobah menjadi tanah yang bergelombang. Tentu saja hal tersebut akibat ia menjauh dari Matahari (Batara Guru), kejadian itu diumpamakan sebagai “kutukan” Batara Guru kepada Dewi Uma yang kemudian berobah nama menjadi Batari Durga yang buruk rupa.
- Setelah Dewi Uma kehilangan cahaya dan menjadi Batari Durga maka ia dikawini oleh Batara Kala, yang artinya ialah terkena hukum “waktu” maka terjadilah peristiwa waktu & ruangdi planet Bumi.
- Waktu (Kala) ditentukan oleh Matahari
- Ruang (Pa) ditentukan oleh Bumi
Namun demikan, walaupun Dewi Uma telah menjadi Batari Durga ia masih mengandung putra dari Batara Guru dan saat ini kita menyebutnya sebagai “Magma” (api yang ada di perut Bumi) yang kelak melahirkan berbagai jenis batuan serta unsur-unsur lainnya sebagai penunjang kehidupan para penduduk Bumi.
Peristiwa tersebut dalam Pikukuh Sunda diabadikan dengan sebutan Bua-Aci (‘buah’-aci) atau lebih dikenal sebagai Sang Hyang Pohaci, yang senantiasa memberikan kesuburan (*kehidupan)kepermukaan tanah. Dari sebutan atau ungkapan tersebut pada saat sekarang membuat kita mengenal istilah “buah” (*phala / pala / pahala) serta istilah “Bua-na” yang kelak berobah menjadi Banua (Benua).
Perobahan dari Dewi Uma menjadi Batari Durga (*karena tertutup tanah) menyebabkan perut Bumi harus dapat mengeluarkan panas Bumi (magma), maka lahirlah sebuah “cerobong raksasa” yang disebut sebagai Gunung Sunda (Gn. Batara Guru).
- Pada dasarnya Dayang Sumbi itu berasal dari kata Da-Hyang - Su-Umbi , yang artinya :
- Da = Agung / Besar
- Hyang = Moyang / Eyang / Biyang / Leluhur / Buyut.
- Su = Sejati
- Umbi = Ambu / Ibu
- Dayang Sumbi mengandung makna: Leluhur Agung Ibu Sejati atau setara dengan sebutan Buana / Ibu Pertiwi / Bumi / Earth.
Maka jika disimpulkan, kisah / legenda Sang Guru Hyang & Da Hyang Su Umbi itu lebih kurang memaparkan tentang kejadian / hubungan antara Matahari & Bumi, keberadaan “Waktu & Ruang” (Kala & Pa) dan khususnya berceritera tentang “awal kehidupan manusia di muka Bumi” yang intinya menyatakan bahwa “waktu & ruang merupakan hukum kehidupan”.
4. Situmang = Trisula Naga-Ra
Dalam kisah Sang Guru Hyang diceriterakan bahwa Dayang Sumbi pada akhirnya kawin (bersanding) dengan Situmang, yaitu seekor anjing yang membantu membawakan gulungan benang yang terjatuh ketika Dayang Sumbi sedang menenun. Perkawinan mereka menghasilkan sosok Sangkuriang (Sang Guru Hyang).
- ‘Sangkuriang’ atau sebut saja Sang Guru Hyang yang ke II ini maknanya adalah kelahiran Negeri Matahari (Dirgantara) sebagai pusat Keratuan / Keraton Dunia, atau kelahiran pola ketata-negaraan yang pertama di dunia yang ditandai oleh Gunung Sunda Purba atau Gn. Matahari / Gn. Batara Guru. Saat ini tersisa sebagai Gn. Tingkeban Pa-Ra-Hu, dan sekarang kita menyebutnya sebagai Gn. Tangkuban Parahu.
Setelah keberadaan wilayah beserta penduduknya, bentuk kemasyarakatan diawali dengan adanya Tata / Aturan / Hukum yang berupa Tri Su La Naga-Ra(Tiga Kesejatian Hukum pada sebuah Negara), atau dalam silib & siloka SITUMANG yaitu terdiri dari :
- Rasi / Datu berkedudukan sebagai pengelola kebajikan, wilayahnya disebut “Karesian / Kadatuan atau Kedaton”.
- Ratu berkedudukan sebagai pengelola kebijakan, wilayahnya disebut Keratuan / Keraton.
- Rama berkedudukan sebagai pembentuk kebijakan dan kebajikan, wilayahnya disebut “karamat” atau sering disebut sebagai “kabuyutan”atau wilayah para leluhur / luhur / gunung (*?) = (tanah suci).
- Hyang merupakan sumber ajaran kebijakan dan kebajikan, wilayahnya disebut Pa-Ra-Hyang.
Adapun sosok binatang “anjing” merupakan metafora atau perumpamaan dari watak “kesetiaan”. Simbolisasi tersebut tentu sangat sesuai dengan kenyataan yang berlaku dan layak dipergunakan sebagai pola tanda seperti halnya Sang Hyang Gana (Ganesha) yang mempergunakan siloka “gajah”, ataupun konsep pemerintahan yang dilambangkan dalam bentuk “harimau” (mang / hitam – ang/merah – ung/putih = maung).
5. Awal Kenegaraan Dunia “Layang Saloka Domas & Saloka Nagara”
Secara logika tentu awal keberadaan sebuah negara harus memenuhi beberapa syarat, yaitu : kepastian hukum, keberadaan wilayah, masyarakat, aparatur pemerintahan, serta pengakuan. Tanpa salah-satunya terpenuhi maka tidak layak disebut sebagai sebuah negara.
Maka demikian pula dengan kelahiran pemerintahan ditatar Sunda yang konon (*berdasarkan catatan sejarah yang ada hingga saat ini) diawali dengan adanya sebuah Keratuan yang bernama “Salokanagara / Salakanagara”. Tentu ‘kerajaan’ tersebut mustahil ada jika tidak diawali oleh adanya “nilai-nilai ajaran” yang menjadi sebuah peraturan / hukum. Itu sebabnya masyarakat kita mengenal istilah “Layang Saloka Domas” yang artinya :
- La = Hukum
- Hyang = Leluhur
- Sa = Esa / Tunggal / Satu
- Loka = Tempat / Wilayah
- Domas = Tidak Terhingga / invinity / 8
Arti keseluruhannya ialah : Kesatuan Wilayah Hukum Leluhur (yang) Tidak Terhingga.
Adapun Saloka Nagara pada dasarnya merupakan wilayah kekuasaan hukum yang sangat besar. Sa-Loka Naga-Ra (*Salaka Nagara ?) artinya adalah :
– Sa = Esa / Tunggal / Satu
– Loka = Tempat / Wilayah
– Naga = *...lambang penguasa darat & laut (samudra).
– Ra = Matahari
Saloka Naga-Ra berarti : Kesatuan Wilayah Kekuasaan Darat & Laut (negeri) Matahari.
6. Aki ‘Tirem’
Menyentuh jaman Saloka Nagara tentu tidak terlepas dari keberadaan Aki Tirem yang mempunyai makna sebagai berikut;
– Aki = Leluhur / Kokolot / Sesepuh / Tohaan / Tuhaan (‘Tuhan’).
– ‘Tirem’ = (............beberapa kemungkinan arti) :
- Tarum / Taru-Ma (Kalpataru / pohon hayat / kehidupan).
- Ti-Rum / Rumuhun
- Ti-Ram / Rama
Jika “Tirem” itu adalah kata lain dari “Taru-Ma”(*taru = tree / pohon, dan ma = uma / bumi / ambu / ibu) maka istilah “Aki Tirem / Taruma” bisa mengandung makna sebagai “Pohon keluarga para leluhur Bumi”.