(Kajian Naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, Sewaka Dharma)
1. Pengantar
Naskah kuno apapun tentu tidak akan menarik jika pembacanya tidak melibatkan diri secara total dan cerdas. Dibutuhkan ruang nalar bebas dari berbagai dogma. Bahkan boleh jadi diperlukan cara berpikir kreatif dan imajinatif untuk dapat lebih menghayatinya.
Isi naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma sebenarnya tidak ada yang baru pun tidak ada yang aneh, sebab hampir semuanya telah kita ketahui atau setidaknya sudah pernah kita dengar. Yang menjadi pokok permasalahan adalah daya (kemampuan) untuk melaksanakannya (melakukan), dapatkah manusia yang hidup di masa kini menempuh jalan kebajikan sesuai dengan yang terkandung pada ketiga naskah tersebut ?
Jika disari-patikan isi ketiga kitab kuno ini menuturkan tentang; pandangan atau hasil pemikiran yang bijak mengenai makna kehidupan yang selama ini justru menjadi persoalan hangat di masyarakat, khususnya dalam ranah keagamaan di negara kita. Prsoalan tersebut tidak jarang menjadi pemicu konflik horisontal di berbagai tingkatan dan beragam status sosial.
Namun demikian patut dicermati bersama bahwa; para leluhur tampaknya telah mencoba bekerja keras mewariskan wejangan kebajikan sebagai “jalan hidup” yang harus ditempuh generasi penerus. Tidak perlu disangkal bahwa wejangan tersebut pada dasarnya sangat sulit dijalankan dengan penuh kesadaran.
Keunikan isi ajaran di dalam ketiga naskah kuno ini adalah tidak adanya unsur lain turut campur dalam penghakiman manusia atas perilaku apapun. Manusialah yang menentukan ‘jenis dan mutu’ hukuman tanpa ada campur tangan dari pihak yang dianggap lebih berkuasa dari manusia. Segalanya diserahkan kepada manusia pemilik unsur kepintaran, kecerdasan, dan kepandaian sehingga diri sendiri bertanggung-jawab atas segala sikap dan perilakunya. Dan ini secara langsung telah mendudukan Yang Maha Kuasa benar-benar di tempat terhormat sebagai Yang Maha Adil lagi Maha Cerdas, tanpa disisipi unsur perwatakan manusia.
Patut diperhatikan tentang adanya ketiga naskah kuno ini ialah; tutur tinular ajaran mengenai penyebab manusia dilahirkan, dinamika kehidupan sebagai manusia, serta tahap-tahap kematian manusia itu semua terjelaskan dengan rinci, telah disampaikan secara turun-temurun sehingga menjadi pemahaman umum pada kehidupan masyarakat di masa lalu. Hal ini dapat diartikan bahwa ajaran atau wejangan tersebut senyatanya telah “teruji” selama ratusan tahun bahkan boleh jadi ribuan tahun.
Para leluhur dan pini-sepuh memberikan wejangan mulia melalui Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma bukannya tanpa sebab. Kumpulan pengalaman dan hasil pemikiran cerdas serta bijaksana yang diwariskan secara turun temurun itu tujuannya adalah menuntun manusia agar mencapai keparipurnaan hidup, manusia dapat kembali mencapai keabadian seperti pada mulanya.
Ajaran pada Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma yang berisi wejangan untuk memilih “Jalan Kebajikan” dengan perwatak kebuanaan (universal) itu tampaknya sudah tidak diminati oleh sebagian bangsa kita. Boleh jadi hal ini diakibatkan oleh adanya ‘sudut pandang baru’ mengenai tata-cara dan tujuan hidup manusia. Di lain pihak jalan kebajikan yang disampaikan dalam ketiga naskah kuno sesungguhnya sangat berat dan tidak menjanjikan apapun selain mendapatkan “kemuliaan” sebagai manusia yang berhasil mencapai kesempurnaan (keabadian).
2. Karma dan Dharma Sebagai Sebab Kelahiran Manusia
Naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma berisi wejangan / pitutur yang menyangkut “diri manusia dengan segala cara-ciri kemanusiaannya diarahkan untuk mencapai kesempurnaan (keabadian)”. Di sisi lain naskah ini tampaknya dapat menjadi salah satu jawaban mengenai fenomena (misteri) keberadaan manusia dengan rahasia kehidupannya :
- Dari mana manusia berasal ?
- Bagaimana cara hidup sebagai manusia ?
- Kemana manusia harus berpulang ?
Merujuk kepada isi naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma bahwa “tidak ada satupun manusia terlahir tanpa karma dan dharma” setiap orang terlahirkan dengan membawa data-data kehidupan di masa lalu (past life) yang dibuat dirinya sendiri. Dengan demikian tentu sangat disayangkan apabila data evolusi diri yang sudah baik dikurangi (dirusak) mutunya pada kesempatan hidup di masa kini. Boleh jadi hal itu merupakan salah-satu sebab kenapa manusia harus tetap menjaga kesadaran dan senantiasa berbuat kebajikan.
Dalam ketiga naskah kuno tidak terdapat pernyataan yang bernuansa “kebetulan” atau terjadi secara tiba-tiba dan semena-mena. Maka, boleh diartikan bahwa tidak pernah ada manusia lahir ke dunia tanpa syarat dan tanpa tujuan. Dengan kata lain, untuk menjadi sosok manusia itu tidaklah semudah dan sesederhana yang dibayangkan. Manusia sama sekali bukan produk yang terlahir karena “kebetulan”.
Begitu banyak variabel yang menjadi pemicu kelahiran seseorang. Secara garis besar terpetakan gambaran tahap-tahap pembentukan manusia; dari unsur protein, mikro organisma, gugus perbintangan, hingga energi Jagat Agung (makro-kosmos). Setidaknya dari faktor ragawi terlihat bahwa alam semesta telah bekerja keras untuk menentukan kelahiran seseorang.
Dilain faktor keberadaan, orang tua terposisikan sebagai unsur utama yang berjasa mengantarkan kehadiran ragawi sebagai identitas bagi entitas yang akan melaksanakan tugas mulia. Dengan demikian beruntunglah menjadi manusia karena dalam waktu yang bersamaan milyaran mahluk bumi pun terlahirkan.
Pemikiran mengenai adanya “penyebab” kelahiran manusia yang berkaitan dengan perilaku di masa lalu dalam ruang waktu yang berbeda, selayaknya dipandang sebagai hasil kecerdasan luar biasa. Hal ini merupakan penawaran jawaban bagi pertanyaan “apa penyebab kelahiran manusia di bumi” dengan melalui pendekatan logis-matematis yang didasari oleh hukum kausalitas (sebab-akibat).
3. Kesadaran dan Kewaspadaan
Istilah eling lan waspada (sadar dan waspada) telah menjadi pepatah turun-temurun yang pada saat ini agak terpinggirkan, mungkin karena terlalu abstrak / mengkristal atau padat makna. Padahal dalam kalimat yang begitu singkat itu terkandung kebijaksanaan serta kunci pemahaman tentang keabadian.
Awal dari segala keberadaan adalah “kesadaran” (yang selalu hidup) atau dengan kata lain “yang dulu telah ada dan akan selalu ada”. Konsep tentang kesadaran ini juga dipahami sebagai hubungan istimewa antara mikro-kosmos (Jagat Alit) dengan makro-kosmos (Jagat Agung) – “Kosmos” yaitu pola keberaturan alam semesta yang sangat sempurna, dan hal tersebut telah ada dan akan selalu ada. Manusia sebagai Jagat Alit (mikro-kosmos) yang lahir di alam semesta sudah sewajarnya mengikuti pola keberaturan makro-kosmos (Jagat Agung).
Istilah eling lan waspada (kesadaran dan kewaspadaan) atau yang senantiasa hidup, tampaknya menjadi kunci utama untuk mencapai tahap kesempuraan manusia menuju keabadian (yang senantiasa hidup). Pada ‘kehidupan’ manusia, tonggak kesadaran terdapat pada unsur pernafasan sebagai bagian yang tidak pernah tidur. Nafas merupakan bagian yang secara langsung menghubungkan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Dilain pihak unsur nafas dijadikan penanda (ukuran) atas kehidupan dan kematian manusia.
Manusia bernafas untuk mengambil udara sebagai unsur inti dan utama yang dapat membuat dirinya hidup. Maka, sesungguhnya manusialah yang “meminjam kehidupan” dari yang tidak pernah mati, dengan kata lain bahwa satuan ukuran hidup manusia itu sama dengan tarikan nafasnya (hirup sama dengan hidup).
Dalam naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma terdapat pernyataan bahwa ketika melakoni kehidupannya manusia harus bijaksana dalam melaksanakan kinerja “bayu, sabda, hedap”, dan dianjurkan sebaiknya manusia mempergunakan ketiganya untuk berbuat kebajikan.
4. Kausalitas di Ruang Kosmos
Dalam kesemestaan Jagat Agung (makro-kosmos) tidak ada satu hal yang terputus, semua saling terkait dan terhubungkan. Sekecil apa pun yang terjadi akan mengakibatkan semesta bereaksi, memberikan dampak. Sama seperti peristiwa di Jagat Alit (mikro-kosmos), sakit diujung jari akan terasa oleh seluruh tubuh.
Bumi bukanlah sebuah planet yang berdiri sendiri dan bekerja mandiri, planet bumi adalah bagian sangat kecil dari rangkaian suatu sistem maha besar yang sedang bergerak secara serentak dan bersamaan. Jagat Agung ini tidak ada yang diam dan tatanan maha besar itu bekerja dalam ukuran yang sulit untuk dibayangkan.
Kosmos sebagai pola keberaturan alam semesta yang sangat istimewa telah membawa seluruh mahluk bumi ke dalam proses besar evolusi. Tentu saja segala pergeseran dan perobahan itu dipicu adanya hukum kausalitas (sebab-akibat). Pola hubungan sebab-akibat pada dasarnya merupakan perwatak “hukum alam” yang selalu bekerja mencari titik keseimbangan.
Hukum kausalitas di Jagat Alit (mikro-kosmos) sangat jelas disampaikan dalam naskah kuno Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma bahwa setiap perilaku (sebab) tentu ada dampaknya (akibat). Maka tiga naskah kuno menganjurkan manusia untuk senantiasa bersikap bijak dan bajik dalam menjalankan proses kehidupan (*tepatnya memanfaatkan kehidupan) agar dampak yang ditimbulkan menjadi kemuliaan bagi diri sendiri dan menjadi keindahan bagi yang lainnya.
Beberapa pepatah yang ditinggalkan para leluhur, selalu menekankan untuk bijak dan bajik dalam bertindak, karena setiap tindakan sekecil apapun akan berakibat pada semesta atau setidaknya berdampak pada diri sendiri. Ini tentu dilandasi alasan kuat dan sudah melalui proses pembuktian panjang dan terukur hingga mereka menyarankan hal ini bagi keturuannya.
5. Hiper Probabilitas
Memperhitungkan probabilitas kejadian dalam kehidupan di Jagat Agung (makro-kosmos) sama rumitnya (*mustahil) dengan menghitung jumlah pasir di tepi pantai. Tidak ada manusia yang dapat mengetahui kejadian yang teramat besar dan kompleks variabelnya. Bila kita renungi tentang kenyataan kondisi ini maka begitu besar kemungkinan kejadian yang bisa terjadi.
Dalam setiap proses pembuahan pada manusia, satu kali pelepasan spermatozoa pria sehat berjumlah sekitar 50 juta sperma yang akan membuahi 1 atau 2 sel telur wanita. Bukankah ini probabilitas yang sangat luar biasa? Peluang terjadinya pembuahan 1 : 50.000.000 itu hal yang sangat kecil kesempatannya? Ini merupakan kejadian istimewa yang patut disadari sepenuhnya. Pernahkah terlintas pemikiran; dari sekian banyak pasangan kenapa saya harus lahir dari orang tua yang itu? Dari sekian banyak laki-laki / perempuan kenapa pasangan hidup saya yang itu? Dari sekian banyak manusia kenapa adik / kakak saya harus yang itu? Dari waktu yang demikian panjang kenapa saya lahir pada hari itu di tahun itu? dll, dst – masih sangat banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban logis-matematis.
Manusia dihadirkan dan menjalani beragam nuansa kehidupan melalui peristiwa yang sangat istimewa untuk menuntaskan karma melalui dharmanya. Maka sudah sepatutnya manusia menghargai dan menghormati sesama manusia beserta seluruh penghuni bumi, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
6. Dunia Paradoks
Prinsip mendasar dalam keseimbangan adalah adanya kondisi paradoks. Listrik akan meyalakan lampu ketika arus positif dan negatif bertemu. Perkawinan laki dan perempuan akan menghasilkan keturunan. Pada tumbuhan, binatang pun terdapat kondisi paradoks yang memungkinkan segala proses keberlajutan dan keseimbangan alam ini dapat berkeja. Adanya siang dan malam adalah keadaan yang mengatur kegiatan semua makhluk.
Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi dan kondisi paradoks merupakan faktor yang memicu dinamika kehidupan, mengakibatkan terjadinya tumbuh kembang peradaban manusia dengan segala nilai dan teknologinya.
Bagaimana mungkin manusia mengenal kebaikan apabila tidak ada keburukan, tidak mengenal gelap jika tidak ada terang, tidak mengenal kesedihan bila tidak ada kegembiraan, dan seterusnya. Jadi kondisi berlawanan ini bukan persoalan jelek atau bagus melainkan untuk saling melengkapi demi gerak kehidupan yang keberlanjutan. Manusia yang senyatanya hidup di ruang paradoks sudah pasti selalu menghadapi dua keadaan dengan segala perwataknya. Maka di sinilah pentingnya potensi kepintaran sebagai kemampuan memilih
1. Pengantar
Naskah kuno apapun tentu tidak akan menarik jika pembacanya tidak melibatkan diri secara total dan cerdas. Dibutuhkan ruang nalar bebas dari berbagai dogma. Bahkan boleh jadi diperlukan cara berpikir kreatif dan imajinatif untuk dapat lebih menghayatinya.
Isi naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma sebenarnya tidak ada yang baru pun tidak ada yang aneh, sebab hampir semuanya telah kita ketahui atau setidaknya sudah pernah kita dengar. Yang menjadi pokok permasalahan adalah daya (kemampuan) untuk melaksanakannya (melakukan), dapatkah manusia yang hidup di masa kini menempuh jalan kebajikan sesuai dengan yang terkandung pada ketiga naskah tersebut ?
Jika disari-patikan isi ketiga kitab kuno ini menuturkan tentang; pandangan atau hasil pemikiran yang bijak mengenai makna kehidupan yang selama ini justru menjadi persoalan hangat di masyarakat, khususnya dalam ranah keagamaan di negara kita. Prsoalan tersebut tidak jarang menjadi pemicu konflik horisontal di berbagai tingkatan dan beragam status sosial.
Namun demikian patut dicermati bersama bahwa; para leluhur tampaknya telah mencoba bekerja keras mewariskan wejangan kebajikan sebagai “jalan hidup” yang harus ditempuh generasi penerus. Tidak perlu disangkal bahwa wejangan tersebut pada dasarnya sangat sulit dijalankan dengan penuh kesadaran.
Keunikan isi ajaran di dalam ketiga naskah kuno ini adalah tidak adanya unsur lain turut campur dalam penghakiman manusia atas perilaku apapun. Manusialah yang menentukan ‘jenis dan mutu’ hukuman tanpa ada campur tangan dari pihak yang dianggap lebih berkuasa dari manusia. Segalanya diserahkan kepada manusia pemilik unsur kepintaran, kecerdasan, dan kepandaian sehingga diri sendiri bertanggung-jawab atas segala sikap dan perilakunya. Dan ini secara langsung telah mendudukan Yang Maha Kuasa benar-benar di tempat terhormat sebagai Yang Maha Adil lagi Maha Cerdas, tanpa disisipi unsur perwatakan manusia.
Patut diperhatikan tentang adanya ketiga naskah kuno ini ialah; tutur tinular ajaran mengenai penyebab manusia dilahirkan, dinamika kehidupan sebagai manusia, serta tahap-tahap kematian manusia itu semua terjelaskan dengan rinci, telah disampaikan secara turun-temurun sehingga menjadi pemahaman umum pada kehidupan masyarakat di masa lalu. Hal ini dapat diartikan bahwa ajaran atau wejangan tersebut senyatanya telah “teruji” selama ratusan tahun bahkan boleh jadi ribuan tahun.
Para leluhur dan pini-sepuh memberikan wejangan mulia melalui Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma bukannya tanpa sebab. Kumpulan pengalaman dan hasil pemikiran cerdas serta bijaksana yang diwariskan secara turun temurun itu tujuannya adalah menuntun manusia agar mencapai keparipurnaan hidup, manusia dapat kembali mencapai keabadian seperti pada mulanya.
Ajaran pada Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma yang berisi wejangan untuk memilih “Jalan Kebajikan” dengan perwatak kebuanaan (universal) itu tampaknya sudah tidak diminati oleh sebagian bangsa kita. Boleh jadi hal ini diakibatkan oleh adanya ‘sudut pandang baru’ mengenai tata-cara dan tujuan hidup manusia. Di lain pihak jalan kebajikan yang disampaikan dalam ketiga naskah kuno sesungguhnya sangat berat dan tidak menjanjikan apapun selain mendapatkan “kemuliaan” sebagai manusia yang berhasil mencapai kesempurnaan (keabadian).
2. Karma dan Dharma Sebagai Sebab Kelahiran Manusia
Naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma berisi wejangan / pitutur yang menyangkut “diri manusia dengan segala cara-ciri kemanusiaannya diarahkan untuk mencapai kesempurnaan (keabadian)”. Di sisi lain naskah ini tampaknya dapat menjadi salah satu jawaban mengenai fenomena (misteri) keberadaan manusia dengan rahasia kehidupannya :
- Dari mana manusia berasal ?
- Bagaimana cara hidup sebagai manusia ?
- Kemana manusia harus berpulang ?
Merujuk kepada isi naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma bahwa “tidak ada satupun manusia terlahir tanpa karma dan dharma” setiap orang terlahirkan dengan membawa data-data kehidupan di masa lalu (past life) yang dibuat dirinya sendiri. Dengan demikian tentu sangat disayangkan apabila data evolusi diri yang sudah baik dikurangi (dirusak) mutunya pada kesempatan hidup di masa kini. Boleh jadi hal itu merupakan salah-satu sebab kenapa manusia harus tetap menjaga kesadaran dan senantiasa berbuat kebajikan.
Dalam ketiga naskah kuno tidak terdapat pernyataan yang bernuansa “kebetulan” atau terjadi secara tiba-tiba dan semena-mena. Maka, boleh diartikan bahwa tidak pernah ada manusia lahir ke dunia tanpa syarat dan tanpa tujuan. Dengan kata lain, untuk menjadi sosok manusia itu tidaklah semudah dan sesederhana yang dibayangkan. Manusia sama sekali bukan produk yang terlahir karena “kebetulan”.
Begitu banyak variabel yang menjadi pemicu kelahiran seseorang. Secara garis besar terpetakan gambaran tahap-tahap pembentukan manusia; dari unsur protein, mikro organisma, gugus perbintangan, hingga energi Jagat Agung (makro-kosmos). Setidaknya dari faktor ragawi terlihat bahwa alam semesta telah bekerja keras untuk menentukan kelahiran seseorang.
Dilain faktor keberadaan, orang tua terposisikan sebagai unsur utama yang berjasa mengantarkan kehadiran ragawi sebagai identitas bagi entitas yang akan melaksanakan tugas mulia. Dengan demikian beruntunglah menjadi manusia karena dalam waktu yang bersamaan milyaran mahluk bumi pun terlahirkan.
Pemikiran mengenai adanya “penyebab” kelahiran manusia yang berkaitan dengan perilaku di masa lalu dalam ruang waktu yang berbeda, selayaknya dipandang sebagai hasil kecerdasan luar biasa. Hal ini merupakan penawaran jawaban bagi pertanyaan “apa penyebab kelahiran manusia di bumi” dengan melalui pendekatan logis-matematis yang didasari oleh hukum kausalitas (sebab-akibat).
3. Kesadaran dan Kewaspadaan
Istilah eling lan waspada (sadar dan waspada) telah menjadi pepatah turun-temurun yang pada saat ini agak terpinggirkan, mungkin karena terlalu abstrak / mengkristal atau padat makna. Padahal dalam kalimat yang begitu singkat itu terkandung kebijaksanaan serta kunci pemahaman tentang keabadian.
Awal dari segala keberadaan adalah “kesadaran” (yang selalu hidup) atau dengan kata lain “yang dulu telah ada dan akan selalu ada”. Konsep tentang kesadaran ini juga dipahami sebagai hubungan istimewa antara mikro-kosmos (Jagat Alit) dengan makro-kosmos (Jagat Agung) – “Kosmos” yaitu pola keberaturan alam semesta yang sangat sempurna, dan hal tersebut telah ada dan akan selalu ada. Manusia sebagai Jagat Alit (mikro-kosmos) yang lahir di alam semesta sudah sewajarnya mengikuti pola keberaturan makro-kosmos (Jagat Agung).
Istilah eling lan waspada (kesadaran dan kewaspadaan) atau yang senantiasa hidup, tampaknya menjadi kunci utama untuk mencapai tahap kesempuraan manusia menuju keabadian (yang senantiasa hidup). Pada ‘kehidupan’ manusia, tonggak kesadaran terdapat pada unsur pernafasan sebagai bagian yang tidak pernah tidur. Nafas merupakan bagian yang secara langsung menghubungkan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Dilain pihak unsur nafas dijadikan penanda (ukuran) atas kehidupan dan kematian manusia.
Manusia bernafas untuk mengambil udara sebagai unsur inti dan utama yang dapat membuat dirinya hidup. Maka, sesungguhnya manusialah yang “meminjam kehidupan” dari yang tidak pernah mati, dengan kata lain bahwa satuan ukuran hidup manusia itu sama dengan tarikan nafasnya (hirup sama dengan hidup).
Dalam naskah Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma terdapat pernyataan bahwa ketika melakoni kehidupannya manusia harus bijaksana dalam melaksanakan kinerja “bayu, sabda, hedap”, dan dianjurkan sebaiknya manusia mempergunakan ketiganya untuk berbuat kebajikan.
4. Kausalitas di Ruang Kosmos
Dalam kesemestaan Jagat Agung (makro-kosmos) tidak ada satu hal yang terputus, semua saling terkait dan terhubungkan. Sekecil apa pun yang terjadi akan mengakibatkan semesta bereaksi, memberikan dampak. Sama seperti peristiwa di Jagat Alit (mikro-kosmos), sakit diujung jari akan terasa oleh seluruh tubuh.
Bumi bukanlah sebuah planet yang berdiri sendiri dan bekerja mandiri, planet bumi adalah bagian sangat kecil dari rangkaian suatu sistem maha besar yang sedang bergerak secara serentak dan bersamaan. Jagat Agung ini tidak ada yang diam dan tatanan maha besar itu bekerja dalam ukuran yang sulit untuk dibayangkan.
Kosmos sebagai pola keberaturan alam semesta yang sangat istimewa telah membawa seluruh mahluk bumi ke dalam proses besar evolusi. Tentu saja segala pergeseran dan perobahan itu dipicu adanya hukum kausalitas (sebab-akibat). Pola hubungan sebab-akibat pada dasarnya merupakan perwatak “hukum alam” yang selalu bekerja mencari titik keseimbangan.
Hukum kausalitas di Jagat Alit (mikro-kosmos) sangat jelas disampaikan dalam naskah kuno Sara-Samuccaya, Slokantara, dan Sevaka Dharma bahwa setiap perilaku (sebab) tentu ada dampaknya (akibat). Maka tiga naskah kuno menganjurkan manusia untuk senantiasa bersikap bijak dan bajik dalam menjalankan proses kehidupan (*tepatnya memanfaatkan kehidupan) agar dampak yang ditimbulkan menjadi kemuliaan bagi diri sendiri dan menjadi keindahan bagi yang lainnya.
Beberapa pepatah yang ditinggalkan para leluhur, selalu menekankan untuk bijak dan bajik dalam bertindak, karena setiap tindakan sekecil apapun akan berakibat pada semesta atau setidaknya berdampak pada diri sendiri. Ini tentu dilandasi alasan kuat dan sudah melalui proses pembuktian panjang dan terukur hingga mereka menyarankan hal ini bagi keturuannya.
5. Hiper Probabilitas
Memperhitungkan probabilitas kejadian dalam kehidupan di Jagat Agung (makro-kosmos) sama rumitnya (*mustahil) dengan menghitung jumlah pasir di tepi pantai. Tidak ada manusia yang dapat mengetahui kejadian yang teramat besar dan kompleks variabelnya. Bila kita renungi tentang kenyataan kondisi ini maka begitu besar kemungkinan kejadian yang bisa terjadi.
Dalam setiap proses pembuahan pada manusia, satu kali pelepasan spermatozoa pria sehat berjumlah sekitar 50 juta sperma yang akan membuahi 1 atau 2 sel telur wanita. Bukankah ini probabilitas yang sangat luar biasa? Peluang terjadinya pembuahan 1 : 50.000.000 itu hal yang sangat kecil kesempatannya? Ini merupakan kejadian istimewa yang patut disadari sepenuhnya. Pernahkah terlintas pemikiran; dari sekian banyak pasangan kenapa saya harus lahir dari orang tua yang itu? Dari sekian banyak laki-laki / perempuan kenapa pasangan hidup saya yang itu? Dari sekian banyak manusia kenapa adik / kakak saya harus yang itu? Dari waktu yang demikian panjang kenapa saya lahir pada hari itu di tahun itu? dll, dst – masih sangat banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban logis-matematis.
Manusia dihadirkan dan menjalani beragam nuansa kehidupan melalui peristiwa yang sangat istimewa untuk menuntaskan karma melalui dharmanya. Maka sudah sepatutnya manusia menghargai dan menghormati sesama manusia beserta seluruh penghuni bumi, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
6. Dunia Paradoks
Prinsip mendasar dalam keseimbangan adalah adanya kondisi paradoks. Listrik akan meyalakan lampu ketika arus positif dan negatif bertemu. Perkawinan laki dan perempuan akan menghasilkan keturunan. Pada tumbuhan, binatang pun terdapat kondisi paradoks yang memungkinkan segala proses keberlajutan dan keseimbangan alam ini dapat berkeja. Adanya siang dan malam adalah keadaan yang mengatur kegiatan semua makhluk.
Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi dan kondisi paradoks merupakan faktor yang memicu dinamika kehidupan, mengakibatkan terjadinya tumbuh kembang peradaban manusia dengan segala nilai dan teknologinya.
Bagaimana mungkin manusia mengenal kebaikan apabila tidak ada keburukan, tidak mengenal gelap jika tidak ada terang, tidak mengenal kesedihan bila tidak ada kegembiraan, dan seterusnya. Jadi kondisi berlawanan ini bukan persoalan jelek atau bagus melainkan untuk saling melengkapi demi gerak kehidupan yang keberlanjutan. Manusia yang senyatanya hidup di ruang paradoks sudah pasti selalu menghadapi dua keadaan dengan segala perwataknya. Maka di sinilah pentingnya potensi kepintaran sebagai kemampuan memilih